Kelompok 18
1. Liska Widiyastuti 22030110120063
2. Mira
Dian N 22030110130064
3.
Eveline Sugiharto 22030110130065
PENDAHULUAN
Pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman.1 Selain
sumber zat gizi untuk manusia, makanan juga merupakan sumber pangan bagi
mikroorganisme.
Pertumbuhan mikroorganisme
dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti
perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya misalnya
fermentasi susu menjadi yogurt,dll. Selain itu, pertumbuham mikroorganisme
dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang
tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi.
Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan. Bahan pangan dapat
bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme
patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup
berbahaya seperti gastroenteritis, tifus, kolera, disentri, TBC, mudah tersebar
melalui bahan makanan. 2
Gangguan-gangguan kesehatan,
khususnya gangguan perut akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan
makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia,
tanaman atau hewan beracun; toksin – toksin yang dihasilkan bakteri;
mengkonsumsi pangan yang mengandung parasit – parasit hewan dan mikroorganisme.
Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala
yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya.2
Secara umum, istilah keracunan makanan sering
digunakan untuk menyebut gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme.,
mencakup gangguan – gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang
dihasilkan organisme – organisme tertentu dan gangguan – gangguan akibat
terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin – toksin dapat ditemukan secara
alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolit toksik yang
dihasilkan suatu metabolisme.2
Dengan demikian, intoksikasi pangan adalah
gangguan akibat mengkonsumsi toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam
makanan, sedangkan infeksi pangan disebabkan
masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi dan
sebagai akibat reaksi tubuh terhadap bakteri atau hasil-hasil metabolismenya.2 Salah satu infeksi pangan yang sering
terjadi adalah infeksi Campylobacteriosis.
Campylobacteriosis
adalah
infeksi pangan yang disebabkan oleh bakteri genus Campylobacter. Campylobacter adalah genus bakteri yang menjadi
penyebab utama gastroenteritis di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Di berbagai negara ditemukan bahwa 90% infeksi
campylobacteriosis disebabkan oleh spesies Campylobacter
jejuni. Sedangkan di Amerika Serikat, Campylobacter
jejuni termasuk dalam tiga bakteri yang mengkontaminasi makanan yang dapat
menyebabkan infeksi. Selama 25 tahun terakhir, angka insidensi penyakit infeksi
di negara maju yang disebabkan oleh Campylobacter
semakin meningkat. Angka tersebut hanya berdasarkan kejadian yang telah
dilaporkan, sedangkan di lapangan banyak kasus infeksi Campylobacter yang tidak dilaporkan. Sehingga angka kejadian
infeksi yang sebenarnya lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan, kira
– kira 7,6 sampai 100 kali lebih tinggi.3,4
Sedangkan
di negara berkembang, angka kejadiannya tidak diketahui, hal ini dikarenakan
tidak adanya survey nasional mengenai infeksi Campylobacter. Perkiraan angka insidensi berdasarkan kejadian yang
dilaporkan di negara berkembang sekitar 5-20% dari total seluruh penduduk.
Angka kejadiannya hampir sama dengan angka kejadian di negara maju. Angka
kejadian infeksi Campylobacter banyak
ditemukan pada anak –anak. Pada penelitian di Negara berkembang ditunjukkan
bahwa Campylobacter, khususnya Campylobacter Jejuni sering menyebabkan
infeksi pada anak dibawah umur 5 tahun dan terutama pada anak dibawah umur 1 tahun.3
Di
Indonesia di kasus gastroenteritis karena Campylobacter
jejuni terjadi 98% pada anak <1 tahun, 62% pada usia 1-4 tahun, 40% pada
anak usia 5-9 tahun dan 16 % pada usia 10-14 tahun.5
Infeksi
Campylobacter jejuni disebabkan
karena mengkonsumsi unggas setengah matang, air yang terkontaminasi maupun
konsumsi susu mentah (susu yang tidak dipasteurisasi). Gejala infeksinya yaitu
diare, sakit perut, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Gejala biasanya
muncul mulai dari 2-5 hari setelah infeksi dan berlangsung selama 3-6 hari. 6
Campylobacter
jejuni
1.1.
Karakteristik Campylobacter
jejuni (C. jejuni)
Campylobacter
jejuni merupakan bakteri gram-negatif, tidak membentuk spora, berbentuk lengkung/spiral (bentuk S) dan berbentuk
batang yang bergerak dengan flagel unipolar maupun flagel bipolar. Bakteri ini
merupakan bakteri microaerophilic, sensitif terhadap stress lingkungan
seperti oksigen 21%, pemanasan, pengeringan, pembekuan, desinfektan dan kondisi
asam. Karena bakteri microaerophilic dapat hidup dengan baik pada
oksigen 3-5% dan 2-10% CO2 (dapat hidup pada konsentrasi oksigen yang lebih
rendah dari konsentrasi atmosfer oksigen).
Nilai pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 6.5 – 7.5, Aw optimal 0.997.7,8
Kingdom :Bacteria
Phylum :Proteobacteria
Class :Epsilon
Proteobacteria
Order :Campylobacterales
Family :Campylobacteraceae
Genus :Campylobacter
Species :Campylobacter
fetus
Campylobacter
jejuni
Campylobacter coli
Campylobacter sputorum
Campylobacter mucosalis
Campylobacter concisus
Campylobacter nitrofigilis
Campylobacter laridis
Campylobacter
pyloridis
Campylobacter
hyointestinalis
Campylobacter cryaerophila
Campylobacter bersifat
mikroaerofilik, sehingga pertumbuhannya lambat. Oleh karena itu apabila
mengkultur di dalam media, perlu ditambahkan antibiotika untuk mencegah
mikroflora lainnya tumbuh lebih cepat, sehingga mengalahkan campylobacter-nya
sendiri. Masa inkubasinya yaitu 1 – 11 hari, namun paling sering 2 – 5 hari. 7
Campylobacter jejuni dapat
tumbuh dengan baik pada suhu 37o-42oC dalam suasana
atmosfer dengan 5- 10% CO2 dan oksigen yang sama banyak. C. jejuni tidak akan
tumbuh pada suhu dibawah 28o – 30oC. Mikroorganisme ini
dapat hidup dengan lebih baik pada keadaan dingin dibandingkan pada suhu
sekitarnya. Kultur diinkubasi selama 48-72 jam. Koloni akan tumbuh bulat,
meninggi, tembus sinar tetapi tidak transparan (translucent), dan
kadang-kadang bersifat mukoid. Bakteri ini dapat diidentifikasi dengan
serangkaian uji biokimia.7
Campylobacter memerlukan
kondisi khusus untuk dapat diisolasi dan ditumbuhkan, seperti kondisi udara
yang harus rendah kadar oksigennya, suhu yang sesuai, dan memerlukan media yang
selektif. Jika kondisi ini tidak terpenuhi maka akan sulit melakukan isolasi Campylobacter
seperti C. jejuni. Karena sifatnya yang sensitif, C. jejuni mudah
mengalami perubahan morfologi dari bentuk batang bergelombang menjadi bentuk
kokus. Perubahan morfologi ini mudah terjadi jika kondisi lingkungan tinggi
kadar oksigennya dan saat C. jejuni telah memasuki fase stasioner
pertumbuhannya. Pada saat C. jejuni memasuki fase stasioner, maka
bakteri ini sulit untuk diisolasi karena sifatnya berubah menjadi non
culturable dan bentuknya menjadi kokus.9
Umumnya, Campylobacter
tidak dapat bertahan sebaik bakteri patogen lain seperti Salmonella,
tetapi bakteri ini dapat bertahan lama dalam makanan yang disimpan pada suhu
rendah. C. jejuni tahan pada makanan yang disimpan dalam suhu 4-7oC,
tetapi bakteri ini tidak dapat tumbuh pada suhu pembekuan.9
1.2.
Campylobacter
jejuni dan Makanan
Campylobacter adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan
demam, diare, dan kram perut. Bakteri ini merupakan bakteri yang paling sering
menyebabkan diare di dunia. Bakteri ini hidup di usus ayam sehat dan pada
permukaan karkas unggas. Infeksi disebabkan karena konsumsi makanan maupun
minuman yang terkontaminasi C. jejuni. 10
Sumber
infeksi sebagian besar karena memakan daging ayam yang masih mentah, atau belum
matang atau makanan lain yang telah bersentuhan dengan karkas ayam selama dalam
proses pengolahan sehingga tercemar oleh bakteri ini. Selain itu, infeksi juga
sering terjadi karena meminum susu yang tidak dipasteurisasi maupun air yang
terkontaminasi oleh bakteri ini. Sapi, babi, domba, kambing,
ayam , kalkun, bebek, kucing dan anjing dianggap sebagai pembawa kuman ini,
tetapi yang paling sering adalah unggas.10
C.
jejuni dapat bertahan beberapa bulan
pada tempat yang lembab, kandungan oksigen rendah, pada suhu 4oC,
namun hanya bertahan beberapa hari pada suhu ruang. C. jejuni dapat
bertahan 9 hari di feses, 3 hari di susu, dan 2 – 5 hari di air.11
Diambil dari : www.nature.com/reviews/micro
Kebanyakan
kasus yang terjadi dikarenakan konsumsi daging unggas mentah maupun kurang
matang atau dari kontaminasi silang makanan lain dengan daging unggas yang
terkontaminasi. Kejadian luar biasa dari kontaminasi C. jejuni biasanya
terjadi karena meminum susu yang tidak dipasteurisasi maupun meminum air yang
terkontaminasi. 12
Kontaminasi
dapat terjadi karena pengolahan yang kurang baik, misalnya penggunaan papan
pemotongan yang tidak dicuci setelah digunakan untuk memotong daging unggas
maupun alat untuk mempersiapkan sayuran atau bahan makanan mentah lain. C.
jejuni dapat menyebar dari daging mentah ke makanan lain.12
Campylobacteriosis
pada peternakan unggas dapat disebut avian vibrionic hepatitis atau avian
infectious hepatitis. Unggas yang terinfeksi oleh C. jejuni tidak
menunjukkan gejala terkena penyakit. C jejuni terdapat pada usus unggas
hidup berbentuk koloni. C. jejuni dapat menyebar dari unggas satu ke
unggas lain melalui sumber air maupun dari feses unggas yang terinfeksi. Ketika
unggas yang terinfeksi dipotong, C. jejuni berpindah dari usus ke daging
unggas. Selain itu, C. jejuni juga ditemukan pada kulit dan organ dalam
unggas, khususnya di hati. Sekitar 70% campylobacteriosis pada manusia
disebabkan oleh kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam. 7,12
Selain
di unggas, C. jejuni juga terdapat di hewan ternak. Di hewan ternak
seperti sapi, C. jejuni terdapat di usus dan menjadi organisme komensal.
Pada sapi yang lebih muda terdapat lebih banyak C. jejuni dibandingkan
sapi yang lebih tua. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi dan tidak
dipasteurisasi dapat menjadi sumber kontaminasi apabila sapi terinfeksi oleh C.
jejuni pada ambing (udder) sapi atau karena susu terkontaminasi oleh pupuk
melalui lalat,dll.12
Permukaan
air dan mata air pegunungan dapat terkontaminasi dari feses sapi yang
terinfeksi maupun dari burung liar. Infeksi ini banyak terjadi di negara
berkembang sehingga turis dari luar juga beresiko terkena infeksi C.jejuni.
Selain itu, C. jejuni biasanya hidup pada air yang tidak terklorinasi.12
Dari
berbagai studi, penanganan daging unggas mentah dan konsumsinya sangat
berpengaruh pada persentase kasus yang terjadi. Kontaminasi silang dari daging
ayam mentah pada saat persiapan makanan juga menjadi salah satu faktor resiko campylobacteriosis.
Makanan lain yang menjadi faktor resiko tergantung pada jenis daging, daging
yang kurang matang (barbeku), makanan laut yang dimakan mentah, meminum air
yang tidak diberi perlakuan, serta konsumsi susu dan olahan susu yang tidak
dipasteurisasi. Selain itu produksi dan persiapan makanan juga dapat menjadi
sumber kontaminasi.3
Banyak laporan yang
menunjukkan kejadian keracunan yang disebabkan oleh C. jejuni dan C.coli di
antara isolat dari sumber manusia dan berbagai hewan di lokasi geografis yang
berbeda. Sebagian besar penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara
produksi toksin dengan presentasi klinis. Toksin C.
jejuni cenderung lebih
toksik dibandingkan dengan C. coli, namun hasilnya bervariasi.
Isolat hewan kurang toksik dibandingkan dengan isolat manusia, dan strain Campylobacter dari babi kurang enterotoksigenik daripada pada ayam.
Meskipun aktivitas kolera, sitotonik-enterotoksin, dan sitotoksin berbeda namun
kadang-kadang diproduksi bersamaan. Pada umumnya di negara berkembang, diare
akut (berair) yang sifatnya noninflamasi berhubungan dengan
sitotonik-entrotoksin terjadi pada anak-anak,sedangkan diare inflamasi dan
invasi Campylobacter berhubungan
dengan produksi sitotoksin dalam kasus-kasus sporadik di negara maju. 13
Ada 2 jenis toksin yang dihasilkan oleh Campylobacter, yaitu :13
- Enterotoksin
Enterotoksin yang dihasilkan
oleh C. jejuni menunjukkan kesamaan
struktural dan fungsi dengan toksin
kolera (Cholera Toxin/CT) tergantung pada
pemanjangan sel CHO, kestabilan panas, inaktivasi oleh antitoksin
kolera, peningkatan derajat siklus AMP di intraseluler, dan sekresi cairan di
dalam ileum loop tikus. Penelitian lain telah memberikan bukti yang mendukung
bagi toksin kolera seperti di C. jejuni.
Selain pemanjangan sel CHO, CJT (C.
jejuni enterotoxin) menginduksi potongan dari sel adrenal tikus Y-1, dan
respon sitotoksik reversible dalam sel Vero. Beberapa penulis telah melaporkan
pemurnian dan karakteristik CJT
dengan berbagai cara yang berbeda-beda.
Gel imunodifusi dan analisis enzyme-linked immunosorbent assay telah
menunjukkan keterkaitan dari CJT, dalam bentuk holotoksin dan bentuk subunit B,
untuk CT dan toksin E. coli yang
labil terhadap panas. Reaksi silang yang terjadi antara antibodi pada CT dan
LT dengan CJT mengakibatkan inaktivasi
kegiatan sitotoksin dan aktivitas sekresi dari CJT dalam sel kultur dan
pengikatan loop ileum masing-masing diligasi. Meskipun pada awalnya menunjukkan
hasil yang negatif, rendahnya tingkat nukleotida dalam urutan homologi
ditunjukkan antara genomik DNA dari C.
jejuni dan subunit B dari LT dan CT.
Subunit B dari toksin ini menentukan situs pengikat bagi GM1 gangliosida pada
sel epitel.
Kanwar dan rekan-rekannya
telah membuat kontribusi besar untuk memahami mekanisme yang mendasari
peningkatan yang diamati dalam cAMP intraseluler dan akumulasi cairan dalam
loop ileum diligasi terinfeksi dengan C. jejuni. Patofisiologis sekresi diare
dari infeksi enterotoksigenik C. jejuni melibatkan
terganggunya/penurunan aktivitas Na+, K+-ATPase
berhubungan dengan peningkatan sekresi Na+ dan Cl-.
Perubahan transportasi ion adalah proses yang tergantung pada kalsium yang
melibatkan aktivasi protein C kinase.
Meskipun jumlah bukti
pendukung cukup banyak, beberapa peneliti telah melaporkan kegagalan untuk
mengulang percobaan yang bertujuan untuk mendeteksi aktivitas enterotoksin dari
bebagai sumber isolat C. jejuni,
tuangan keraguan tentang adanya enterotoksin kolera seperti pada C. jejuni. Dalam studi pasien dengan
diare inflamasi di Amerika Serikat, antibodi terhadap enterotoksin tidak dapat
dideteksi begitupun dengan aktivitas dari enterotoksin dalam isolasi C.
jejuni dari pasien tersebut. Ini berbeda dengan penelitian serupa yang
dilakukan pada anak-anak dengan Campylobacter
enteritis di Meksiko. Perbedaan karakteristik antara virulensi isolasi C.
jejuni dari wilayah geografis yang berbeda dapat menjelaskan ketidaksesuaian
dari hasil ini. Sampai pada CJT putatif yang diurutkan, kontroversi akan tetap
berkenaan dengan keberadaan dan signifikansi patobiologis dari enterotoksin
dalam mediasi enteritis C. jejuni.
- Sitotoksin
Efek sitopatik in vitro dari
filtrasi sel bebas untuk polymxyn B and disonikasi C. jejuni dan filtrasi tinja dari seseorang yang terinfeksi dan
hewan telah menggambarkan berkali-kali. Uji sitotoksin C. jejuni biasanya tergantung pada perubahan morfologis dari
berbagai sel kultur. Indikator aktivitas sitokin termasuk pemotongan sel, pemanjangan, distensi, hilangnya kepatuhan
kematian sel. Pewarnaan biru tripan dari sel nonviable umunya menggunakan
penilaian sitotoksisitas. Karena interpretasi perubahan sitopatik mungkin bisa
menghasilkan hasil yang kurang jelas/samar-samar, metode lain telah
dikembangkan unutk mendeteksi aktivitas sitokin. Uji penurunan kuantitas 51Cr telah
dihubungkan dengan efek sitopatik untuk mengevaluasi sitotoksisitas. Seharusnya
efek sitotoksin dalam toksin C. jejuni
lebih menonjol pada fibroblas yang baru,meskipun sel HeLa tertentu rentan. Konsentrasi serum yang
digunakan dalam uji sitotoksisitas
untuk inflamasi toksin C. jejuni diukur dengan pemotongan sel
dan kemampuan untuk menguraikan penurunan sitotoksin dengan lingkup in vitro
dari organisme.
Karakteristik toksin terbaik
dari C. jejuni adalah cytolethal-distending
(CDT)yang pada awalnya dijelaskan oleh Johnson dan Lior sebagai penyebab progresifitas dari
distensi sel dan akhirnya sitotoksisitas dari sel kultur. Disertai dengan
perubahan morfologi seperti perubahan sitoskeletal yang berhubungan dengan
terhentinya proliferasi sel pada sel CHO. Persamaan urutan keasaman sama dengan/setara amplifikasi E. coli bentuk
primer, yang mengarah ke kloning dari tiga gen yang berdekatan dengan C. jejuni
dengan pengkodean protein berdasarkan ukurannya. Ketiga gen tersebut dibutuhkan
untuk aktivitas toksik dalam uji sel HeLa. Baru-baru ini telah ditunjukkan
bahwa CDT C. jejuni menyebabkan sel
HeLa dan Caco-2 menjadi ditangkap dalam suatu tahap siklus. Dalam sel HeLa,
blok ini merupakan uji dengan kegagalan untuk defosforilasi CDC2, yang mengarah
ke bentuk akumulasi inaktif dari kinase yang diperlukan untuk masuk ke dalam
fase M. Penemuan bahwa CDT mengikat protein 59kDa ditemukan di keduanya baik sel HeLa maupun membran sel
CHO, serta 45kDa protein dalam membran sel HeLa, mengiringi perkembangan dari uji
imunoblot sebagai alternatif untuk mendeteksi kultur jaringan konvensional.
Pengikatan CDT dengan reseptornya sebagian dihambat oleh EDTA.
Jumlah sitotoksin yang
diproduksi C. jejuni belum jelas
diketahui, tetapi kemungkinannya bahwa ada lebih dari satu. Kegagaln usaha
untuk menetralisir aktivitas dengan antiserum terhadap racun dari patogen
enterik lain mengindikasikan bahwa imunologi sitotoksin C. jejuni berbeda dari toksin E.
coli, Clostridium difficile, dan Vibrio cholera, meskipun gen CDT dari C. jejuni mempunyai kesamaan dengan E. coli. Kontribusi sitotoksin untuk Campylobacter enteritis masih harus
dibentuk.
1.3.
Campylobacter
jejuni dan Dampaknya pada Kesehatan
Campylobacteriosis merupakan
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter. Campylobacter dapat menyebabkan infeksi di dalam usus
(gastrointestinal) maupun infeksi di luar usus (ekstraintestinal). Gejala infeksi gastrointestinal yaitu demam, kram
perut, sakit perut, dan diare yang diikuti mual-mual selama 2
sampai 5 hari setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri ini.14
Infeksi ekstraintestinal
yaitu bakteremia (bakteri barada dalam darah), kasus bakteremia akibat C.
jejuni terjadi sekitar 1,5 dari 1.000 kasus infeksi
gastrointestinal. Kasus campylobacteriosis kronik ini mencapai 2 sampai 10%
yang meliputi athritis, meningitis, cholecystitis, erytheremea nodosun,
endocarditis, keguguran, dan neonatal spesis. Selain itu, C. jejuni diketahui
sebagai faktor penyebab Guillain-Barre Syndrome (GBS). GBS adalah penyakit akibat
tidak berfungsinya sistem syaraf pusat sehingga menimbulkan kelumpuhan badan
dari kaki ke atas. GBS terjadi sekitar 30 kasus dari 1.000 kasus infeksi C.
jejuni. Diperkirakan 20% penderita GBS hidup dengan kelumpuhan dan diperkirakan
5% meninggal. 14
Lima spesies Campylobacter yang bersifat patogen pada
manusia diantaranya adalah C.jejuni, C. coli, C. laridis, C. fetus, dan C. pylori. Spesies yang dikaitkan dengan infeksi pada manusia ialah
C. coli dan C. jejuni yang disebarkan melalui makanan, air, dan susu yang
terkontaminasi. 14
C.
jejuni diduga sebagai penyebab utama infeksi yaitu sekitar
80-90% kasus campylobacteriosis.
Bakteri ini merupakan bakteri sporadik penyebab foodborne disease. C. jejuni rentan pada kondisi lingkungan
stress (tertekan) tidak dapat hidup dengan baik dalam makanan, sehingga relatif
mudah untuk dikendalikan. C. coli
bertanggung jawab sekitar 7% kasus
campylobacteriosis pada manusia, tetapi di beberapa daerah (seperti Afrika Tengah
and Zagreb) kasus tersebut berkisar 35-40%. C.
upsaliensis dan C. laridis
telah diisolasi dari penderita diare, dan bertanggungjawab sekitar 1% kasus campylobacteriosis pada manusia.14
Waktu inkubasi Campylobacter biasanya
2 sampai 5 hari setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Waktu
menderita infeksi adalah 1 sampai 3 hari, tetapi kemungkinan berakhir selama 3
minggu. C.
jejuni sering diisolasi dari penderita diare, dan paling banya
tingkat isolasinya dibandingakan dengan Salmonella.
Prevalensi infeksi C. jejuni pada
beberapa kampus di Amerika Serikat adalah 10 sampai 46 kali lebih tinggi
jumlahnya daripada infeksi Salmonella dan Shigella. Hasil penelitian
mengidentifikasikan bahwa sedikitnya 500 sel C. jejuni dapat menyebabkan penyakit
pada manusia.14
Kasus penyakit diare akibat
terinfeksi bakteri Campylobacter di
beberapa negara
telah banyak dilaporkan, misalnya di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 2,5
juta penderita dan 124 penderita meninggal setiap tahunnya. Kasus infeksi Campylobacter juga dilaporkan di Inggris
yaitu 6.300 kasus pada tahun 1978 meningkat menjadi 38.000 kasus pada tahun
1992. Di negara berkembang seperti Bangladesh, Indonesia, Gambia, dan Mexico
penderita C. jejuni terbesar terjadi
pada anak-anak di bawah umur lima tahun. Penderita infeksi Campylobacter disebabkan oleh konsumsi daging unggas yang kurang matang,
penyebab lainnya yaitu meminum susu segar yang tidak dipasterurisasi atau meminum
air yang tidak diklorinasi.14
Angka kejadian
campylobacteriosis pada pasien diare hampir sama dengan kejadian salmonellosis
atau shigellasis. Hasil penelitian di negara Amerika menunjukkan angka kejadian
salmonellosis berkisar 300-1.500 kasus/100.000 penduduk, infeksi Escherichia coli 30 kasus/tahun dan campylobacteriosis 1/1.000 orang.Laporan dari
negara Inggris dan Wales, lebih dari 1% populasi terinfesi setiap tahunnya
dengan kerugian ekonomi mencapai 12 juta. Sebaliknya di Indonesia hanya sedikit
informasi mengenai infeksi Campylobacter
jejuni. Pada manusia, salah satunya adalah yang dilaporkan oleh Balitvet,
Bogor pada tahun 1984 yaitu tentang kasus keracunan susu C. jejuni di Jawa Barat.7
Masa inkubasi
campylobacteriosis pada manusia umumnya 2-4 hari ketika bakteri mengalami
multiplikasi dalam usus dan mencapai jumlah 106-109 per
garam feses. Untuk terjadinya infeksi hanya diperlukan sekitar 800 bakteri C. jejuni. C.jejuni menghasilkan enterotoksin yang mirip dengan penyakit
kolera dan toksin Escherichia coli.7
Banyak kejadian
campylobacterosis pada manusia bersifat
sporadik. Kejadian dari penyakit ini memiliki karakteristik
epidemiologik yang berbeda dari infeksi sporadik. Penyakit ini umumnya terjadi
pada musim semi dan gugur. Konsumsi usus mentah sebagai sumber infeksi pada 30
dari 80 kejadian luar biasa campylobacteriosis pada manusia, seperti yang
dilaporkan oleh CDC antara tahun 1973 dan 1992. Terjadinya penyakit ini
disebabkan oleh mengkonsumsi susu mentah/murni pada saat kunjungan anak sekolah
ke peternakan selama musim sedang. Sebaliknya puncak Campylobacter sporadik terjadi selam musim panas.7
Faktor resiko
lain yang proporsinya lebih kecil dari penyakit sporadik diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Minum air yang tidak dimasak dengan baik
2. Perjalanan ke luar negeri
3. Mengkonsumsi babi panggang atau sosis
4. Minum susu mentah atau susu botol
5. Kontak dengan anjing atau
kucing, khususnya binatang kesayangan
anak-anak atau binatang kesayangan yang terkena diare.
Penyebaran dari manusia ke
manusia tidak umum terjadi. Pangan yang berasal dari hewan merupakan faktor
penting dalam penyebaran Campylobacter
jejuni terhadap manusia.7
Di Amerika
Serikat Campylobacter umumnya
menyerang pada bayi, kurang lebih 14 per 100.000 per tahun terjangkit penyakit
ini. Semakin bertambahnya umur (anak-anak), maka kejadian semakin menurn yaitu
4 per 100.000 orang per tahun. Kejadian pada orang dewasa meningkat lagi yaitu
sebesar 8 per 100.000 orang per tahun. Diantara umur remaja dan dewasa,
diperkirakan <3 per 100.000 orang per tahun. Setiap orang ada kecendurungan
dapat terinfeksi bakteri C. jejuni, tetapi anak di bawah umur 5 tahun dan orang
dewasa (15-29 tahun) merupakan yang paling rentan terinfeksi bakteri ini.7
Umumnya orang tidak menyadari bahwa penyakit sakit perut yang
dialami merupakan penyakit yang disebabkan oleh apa yang mereka makan. Biasanya
mikroba dalam makanan seperti daging atau telur yang dimasak kurang matang,
penanganan produk yang salah, atau tercemarnya produk oleh kotoran hewan. Beberapa
penderita bisa sembuh tanpa pergi ke dokter, tetapi beberapa yang lainnya tidak
sembuh. Satu dari 1.000 orang yang diidentifikasi terinfeksi bakteri Campylobacter jejuni Guillain Barre,
suatu penyakit kronis yang secara perlahan menimbulkan kelumpuhan badan dari
kaki ke atas. 7
Campylobacter jejuni dapat
menyebabkan penyakit antara lain gastroentritis, proktitis, septicemia,
meningitis, arthritis, dan Gullain-Barre Syndrome (GBS). Biasanya deman,
abdominal sakit, dan diare terjadi 2-3 hari stelah makanan atau minuman yang
terkontaminasi C. jejuni masuk dalam
tubuh. Sedikitnya 800 organisme yang terdapat dalam unggas, daging sapi, dan
daging babi matang serta makanan lain dapat menyebabkan penyakit. Infeksi C. jejuni biasanya menyerang saluran
pencernaan bagian bawah dan dapat sembuh sendiri dalam periode 5-8 hari. Penyakit
sistemik dapat menyebabkan translokasi oleh monosit dan menghasilkan presisten
khususnya pada penderita immunocompromised. C.
jejuni biasanya diisolasi dari individu nonsimptomatik di negara
berkembang. 13
Infeksi
C. jejuni dapat menghasilkan penyakit
enteritis parah dan dapat menyebabkan peritonitis, ileitis, dan obstruksi
intestinal. Pasien dengan enteritis Campylobacter
membutuhkan laparotomy karena parahnya tanda dan gejala abdominal. Perubahan
inflamatori transmural dapat dikacaukan dengan dugaan penyakit Crohn’s. salah
satu penyakit inflamasi usus.13
C. jejuni telah
dikaitkan dengan GBS yang melemahkan polyneuritis inflamatory yang ditandai
dengan demam, perih, kelemahan, dan sering berdampak pada kecacatan. C. jejuni diketahui menjadi faktor
penyebab GBS, penyakit karena C. jejuni dapat
menuju GBS pada 1 dari 1000 orang. GBS biasanya muncul setelah 1-3 minggu
stelah kejadian presipitasi. Pasien dengan penyakit ini 20-40% memiliki riwayat
infeksi C. jejuni dan tingginya
antibodi anti-C. jejuni. Ada hubungan
kuat antara GBS dengan C jejuni serotip
19 Penner, Lior 11, Lau 19, dan Lau 3/25. 13
Arthritis
reaktif dapat mengikuti masa diare Campylobacter
atau kejadian ini juga dapat muncul
setelah infeksi Yersinia, Salmonella,
Shigella, Clostridium difficile dan Brucella dan umumnya disebabkan oleh
respon autoimun pada sendi. Antibodi IgM, IgG dan IgA meningkat pada pasien
dengan riwayat eksposur Campylobacter
dan arthritis. 13
Arthritis ini
diduga dimulai oleh mimikri molekular antara antigen bakteri dan HLA-B27
permukaan sel. Terapi antibiotik dapat
menurunkan gejala artritis
rective kronis. Sebuah
studi double-blind menemukan
bahwa kursus 3 bulan Ciprofloxacin terapi
penurunan gejala yang dilaporkan oleh pasien dengan arthritis reaktif kronis.13
Campylobacter sering diisolasi dari individu immunocompromised
termasuk anak-anak, pasien kanker,
AIDS, penerima organ dan lansia. Namun,
Campylobacter mampu menyebabkan penyakit pada individu imunokompeten. Perbedaan strain mempengaruhi
laju infeksi Campylobacter.13
1.4.
Pencegahan Infeksi Campylobacter
Beberapa
praktek penanganan makanan sederhana yang dapat membantu mencegah terjadinya infeksi Campylobacter adalah sebagai berikut :12
1. Memasak
semua produk unggas secara teliti/cermat. Pastikan daging dimasak secara
sempurna (tidak lagi berwarna pink) dan menggunakan cairan mengalir yang bersih.
Semua unggas harus dimasak sampai suhu internal minimal 165oF.
2. Jika
anda dihidangkan unggas setengah matang di restoran, kembalikan lagi untuk
dimasak lebih lanjut.
3. Mencuci
tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan.
4. Mencuci
tangan dengan sabun setelah memegang makanan mentah yang berasal dari hewan dan
sebelum menyentuh hal lain.
5. Mencegah
kontaminasi silang di dapur dengan menggunakan talenan terpisah untuk makanan
yang berasal dari hewan dan makanan lain dan dengan hati-hati membersihkan
semua talenan, countertops, dan peralatan dengan sabun dan air setelah menyiapkan
makanan mentah yang berasal dari hewan.
6. Menghindari
konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dan air permukaan yang tidak
terawat/diobati.
7. Memastikan
bahwa orang-orang dengan diare, terutama anak-anak, mencuci tangan mereka
dengan hati-hati dan sering menggunakan sabun untuk mengurangi resiko
penyebaran infeksi.
8. Mencuci
tangn dengan sabun setelah kontak dengan kotoran hewan peliharaan.
Dokter
yang mendiagnosa campylobacteriosis dan klinis laboratorium yang
mengidentifikasi organisme ini harus melaporkan temuan mereka ke Departemen
Kesehatan Lokal. Jika banyak kasus terjadi pada saat yang sama, mungkin itu
berarti bahwa banyak orang yang terkena item makanan umum yang terkontaminasi
atau sumber air yang masih mungkin tersedia untuk menulari lebih banyak orang.
Ketika wabah terjadi, upaya pendidikan masyarakat dapat diarahkan terhadap
teknik penanganan makanan yang tepat, dan menghindari konsumsi susu
mentah/murni (tidak dipasteurisasi).12
KESIMPULAN
1. Campylobacter jejuni
merupakan bakteri gram-negatif, tidak membentuk spora, berbentuk
lengkung/spiral (bentuk S) dan berbentuk batang yang bergerak dengan flagel
unipolar maupun flagel bipolar.
2. Campylobacter jejuni
merupakan bakteri microaerophilic, sensitif terhadap stress lingkungan
seperti oksigen 21%, pemanasan, pengeringan, pembekuan, desinfektan, dan
kondisi asam.
3. Campylobacter jejuni menghasilkan
2 jenis toksin yaitu enterotoksin dan sitotoksin.
4. Campylobacteriosis
merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter.
5. Campylobacter jejuni dapat
menyebabkan penyakit antara lain gastroenteritis, proktitis, septicemia,
meningitis, arthritis, dan Gullain-Barre Syndrome (GBS).
6. Faktor
yang menyebabkan terjadinya penyakit campylobacteriosis adalah konsumsi susu
murni (tidak dipasteurisasi), konsumsi
daging unggas yang kurang matang, sumber air minum yang terkontaminasi C. jejuni, dll.
7. Cara
mencegah terjadinya kontaminasi bakteri C.
jejuni yaitu dengan memasak makanan dari daging unggas secara teliti
(matang sempurna), mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan setelah
memegang bahan mentah terutama dari hewan, mencegah kontaminasi silang, dll.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Badan Standardisasi Nasional.SNI
7399-2009
2. Siagian, Albiner. Mikroba
Patogen Pada Makanan Dan Sumber Pencemarannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Risk
Assessment Of Campylobacter Spp. In Broiler Chickens. World Health Organization
Food And Agriculture Organization Of The United Nations 2009
4. Bad
Bug Book. Foodborne Pathogenic Microorganism and Natural Toxins Handbook
seccond edition. FDA
5.
Signe Ringertz et al. Campylobacter fetus subsp.
jejuni as a Cause of Gastroenteritis in Jakarta, Indonesia. JOURNAL OF CLINICAL
MICROBIOLOGY, Oct. 1980, p. 538-540
6. http://www.who.int/topics/campylobacter/en/. Campylobacter
7.
Masniari Poloengan, Susan M. Noor, Iyep Komala dan Andriani. Lokakarya
Nasional
Keamanan Pangan Produk Peternakan Patogenesis Campylobacter
Terhadaphewan Dan Manusia. Balai
Penelitian Veteriner Jl. R.E Martadinata Bogor. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
8.
WHO,
alih bahasa: dr. Andry Hartono, Sp.GK., editor: Palupi Widyastuti, SKM.. Penyakit
Bawaan Makanan : Fokus Pendidikan Kesehatan. 2002. Jakarta : EGC
9.
Khoirudin, Muhammad Nanang. Penentuan Prevalensi
Cemaran Campylobacter Jejuni Sampel Potongan Karkas Ayam Di Wilayah
Bogor dan Jakarta Menggunakan Metode Modifikasi Bam 2001 F24104019. 2008. Departemen
Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
10.
http: //www.deptan.go.id/bbkptgpriok/admin/rb/foodborne.pdf. Foodborne disease.
11. Campylobacteriosis. 2005. Center for Food Security and Public Health College of Veterinary
Medicine Iowa State University. http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/campylobacteriosis.pdf
12. http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/campylobacter/.
Campylobacter.
13. Jeffrey W. Cary, Ph.D, John E. Linz,
Ph.D. dan Deepak Bhatnagar, Ph.D.. Microbial Foodborne Diseases : Mechanisms of
Pathogenesis and Toxin Synthesis. US : Technomic Publishing Company.
14. Isolasi
Campylobacter Jejuni Pada Karkas Ayam Dan Uji Efektivitas Klorin-Asam Asetat
Sebagai Sanitaiser Terhadap Campylobacter Jejuni Dengan Metode Suspension Test
. Irmawati. 2007. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
15. Kathryn T. Young, Lindsay M. Davis dan Victor J.
DiRita. Campylobacter jejuni: molecular biology and pathogenesis. 2007. Nature Publishing Group. www.nature.com/reviews/micro.